Senin, 13 April 2009

Kitapun Punya Peran!

”Siang tadi ketika aku sedang momong kera, aku bertemu dengan seseorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai tampak di ibukota. Dan kuberikan Rp 2,50 dari uangku. Uangku hanya Rp 2,50 waktu itu (Rp 15,- uang cadanganku)”

”Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, ”paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua.
Kitalah yang menjadi generasi yang akan memakmurkan Indonesia”
(Soe Hok Gie)

Selamat datang di Republik Indonesia, negara yang penuh dengan ironi. Sebuah negara kaya, yang terletak di tengah-tengah dua benua dan dua samudera (begitu yang biasa guru kita dahulu bilang), negara dimana jumlah Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alamnya luar biasa, negara yang juga mempunyai ilmuwan cilik yang kerap memenangkan olimpiade sains yang berskala internasional. Tapi dilain pihak, masih banyak kerikil tajam yang terpaksa harus memperlambat laju perkembangan bangsa kaya kita ini seperti belum terselesaikannya kasus KKN yang kian menjadi borok birokrasi, bencana alam dibeberapa tempat, kekerasan seksual pada anak dan dalam rumah tangga, tindak kriminal yang semakin merejalela, angka kemiskinan yang semakin melonjak setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, kebodohan, pengangguran, terhentinya mesin perekonomian bangsa (terlebih lagi pada sektor riil di daerah-daerah), kesenjangan sosial dan kualitas pendidikan yang tergolong rendah.

Sekarang siapa yang harus disalahkan? Begitu biasa kita diarahkan untuk berfikir setiap terjadi permasalahan, ya.. mencari kambing hitam! Apakah kita harus menyalahkan pemerintah yang hanya sibuk memperkaya dirinya dengan tetap melanggengkan rezim status quo dan memperumit jalur birokrasi pemerintahan yang kian kompleks, apakah ini salah lembaga pendidikan yang tidak menghargai para akademisinya sehingga para ilmuwan negara ini (jikalau ada) dikomersilakan menjadi komoditas ekspor bangsa ke negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, mungkin juga merupakan kontribusi kesalahan mahasiswa ITB dan IPB atau sajarjana teknik lain yang lebih memilih untuk bekerja di bank atupun memilih menjadi wartawan top ibukota, atau ini juga salah rakyat miskin ibukota yang bisanya hanya menuntut kesejahteraan tanpa melakukan sesuatu yang berarti?!

Sebelum berfikir dan merenung terlalu jauh, izinkanlah saya untuk mengucapkan terima kasih untuk tetap meyakini akan status kewarganegaraan yang kita miliki sebagai rakyat republik Indonesia tercinta disela pemasalahan yang tetap menghantui seluruh entitas negara ini dan ucapan terima kasih juga saya haturkan karena telah bersemangat untuk menempuh jenjang perkuliahan, jenjang pendidikan elit yang hanya mampu digapai oleh 2 % dari keseluruhan populasi penduduk, meskipun dengan motif yang kadang bersifat pragmatis.

Penghargaan akan status kenegaran (yang biasa kita kenal dengan nasionalisme) menjadi sesuatu yang penting dalam menumbuhkan Positive Mental Attitude seorang warga negara. Sebuah idealisme untuk bangkit dari keterpurukan yang akan meyelamatkan bangsa ini. Sebuah sikap positif yang diharapkan mengurangi beban para bayi-bayi republik ini dari hutang yang diletakan kepadanya. Meskipun sudah dan akhirnya dikategorikan sebagai sebuah pemikiran utopis para idealis kesiangan (itu yang biasa mereka katakan), tetapi setidaknya semangat inilah yang akhirnya dapat membangkitkan neuron otak kita yang mati suri untuk kembali sadar akan status kita sebagi tulang punggung bangsa, para pemuda!

Masih ingatkah ketika para guru kita di sekolah dasar ”mendongeng” akan perjuangan para founding father negara ini dalam menggapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang tidak hanya bersifat ceremonial, tapi kemerdekaan hakiki suatu bangsa yang dapat memberikan yang terbaik untuk warga negaranya. Hal inilah yang akhirnya berdampak pada kewajiban besar yang harus kita tanggung sebagai kaum elit intelektual (katakanlah seperti itu) dalam mengisi hari-hari sulit yang dihadapi dengan suatu yang produktif, dimana amanah besar itu dianugrahkan kepada kita, para pemuda, sebagai pengambil alih tanggung jawab kemasyarakatan nantinya selepas menaggalkan jaket kuning yang selama ini kita banggakan menjadi baju-baju profesi yang akan mewarnai negeri ini dengan semangat pembaharuan.

Menggapai baju profesi untuk kelak menjadi blue collar worker ataupun white collar worker merupakan sesuatu yang mulia, dan dalam tahapan untuk menuju ke arah sana diperlukan suatu pelatihan dan penggemblengan yang luar biasa yang nantinya akan menentukan siapa yang akan tersaring. Pilihannya hanya dua, menjadi manusia yang terjebak akan jaring-jaring pragmatisme ataukan insan yang akan lolos dari jaring-jaring tersebut, gampangnya menjadi manusia yang berdayaguna atau sebaliknya. Dibutuhkan visi, semangat, etos kerja profesional dan idealisme untuk lolos dari jaring pragmatisme tersebut. Visi, semangat dan idealisme itulah yang akan membentengi diri kita dari disorientasi akan pekerjaan yang kita miliki dimasa datang. Juga tidak akan berguna visi, semangat dan idealisme yang kita punya tanpa etos kerja profesional yang mumpuni. Akan jadi percuma ketika kita menjadi ”paduka” yang bersenang-senang di dalam lingkungan yang penuh dengan kaum miskin yang termarjinalkan, akan menjadi sia-sia ketika gaji besar yang kita terima dari hasil kerja keras kita di perusahaan multinasional ketika dengan hal tersebut tetap menjadikan negara kita tidak dapat menjadi raja di negerinya sendiri, dan akan menjadi sesuatu yang tidak berguna ketika kebanggaan yang kita miliki sebagai seorang mahasiswa yang notabene menyandang nama bangsa hancur diserang virus pragmatisme dan individualisme yang membuat miris segolongan orang yang pada saat yang sama menginginkan persamaan hak dalam menempuh jenjang pendidikan.

Saat ini kita harus bangkit, bangkit dengan menabuh genderang perang akan kebodohan dan kemiskinan, panji-panji perubahan pun harus kita junjung tinggi dengan semangat membara serta tidak segan meneriakan suara-suara kebenaran dengan lantang yang nantinya akan menyelamatkan negara Indonesia tercinta dari jurang keterpurukan. Disini semua punya peran, baik itu Pejabat negara sebagai pemegang kekuasaan yang tidak menjadikan kekuasaan yang dipunyainya sebagai tujuan namun sarana, para ilmuwan yang dapat mendongkrak kemandekan teknologi yang ada, para akademisi yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai aset bangsa dan sumber investasi, para profesional yang bekerja keras sesuai dengan core competence-nya, dan para pemuda khususnya mahasiswa yang belajar dan berjuang untuk mengisi status sosial kemasyarakatan yang akan disandangnya kemudian, menjadi insan yang terbaik, menjadi manusia yang berguna bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar