Selasa, 29 September 2009

MENOLAK TUNDUK!

Fenomena diskriminasi dan komersialisasi pendidikan

“Kita telah bersumpah : Kita tidak mau dijajah lagi! Kita buktikan sumpah itu dengan memperkuat pertahanan kita serta melatih diri kita
untuk sanggup menolak segala penjajahan”
(Mohammad Hatta)


Tentu banyak dari kita, para mahasiswa FEUI, terkejut dengan pemberitaan biaya pendidikan untuk semester pendek (SP) tahun ini naik menjadi Rp 200.000 per SKS. Pengumuman tersebut resmi dikeluarkan oleh pihak dekanat setelah terpilihnya dekan FEUI masa jabatan 2009 – 2014. Saya tidak tahu pasti apakah terdapat kolerasi positif antara kenaikan biaya SP tahun ini dengan tidak terlibatnya mahasiswa dalam prosesi pemilihan dekan yang telah berlangsung. Akan tetapi yang jadi kenyataan adalah mahasiswa sebagai stakeholder terbesar di kampus ini hanya boleh menerima, tanpa perlawanan…

Meskipun sering terjadi perdebatan tentang cara dan tingkat intervensi negara atas kebijakan atas pendidikan masyarakatnya, saya sangat yakin bahwa tidak ada satu negarapun di dunia ini yang memperdebatkan signifikansi pendidikan dalam mencapati perkembangan sebuah bangsa. Bahwa dalam rangka menciptakan negara yang berkualitas, pemerintah harus memulai dengan memperbaiki kualitas pendidikan masyarakatnya.

Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat di dalam masyarakat modern ,terdapat stratifikasi sosial dan ekonomi didalamnya. Marx membagi masyarakat menjadi dua bagian, yaitu masyarakat kaya pemilik modal (kaum borjuis) dan juga masyarakat miskin kaum pekerja yang tidak memliki faktor produksi (kaum proletar). Dalam definisi lain, masyarakat dibagi menjadi tiga golongan yakni kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Terlepas dari berbagai definisi yang ada, dalam tulisan kali ini saya membagi masyarakat menjadi dua bagian, yakni masyarakat yang berkecukupan dan masyarakat yang tidak berkecukupan.

Terkait dengan persoalan pendidikan sekarang ini, tentu bagi golongan masyrakat berkecukupan yang memiliki uang, tidak menjadi masalah ketika menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Di Amerika Serikat, hal seperti ini diakomodasi dengan terdapatnya lembaga pendidikan swasta yang memiliki fasilitas pendidikan yang sangat baik dengan biaya yang tentu relatif mahal. Lalu bagaimana dengan orang miskin? Apakah lantas dengan segala keterbatasan ekonominya orang miskin tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam proses pendidikan yang berkualitas? Masih dalam konteks negara yang sama, di Amerika Serikat kebutuhan atas pemenuhan pendidikan yang berkualitas difasilitasi dengan adanya sekolah umum (public school) yang disediakan oleh pemerintah. Adanya fasilitas sekolah umum yang memiliki biaya terjangkau ini sangat jelas maksudnya yakni untuk menghindari adanya diskriminasi si kaya dan si miskin dalam memperoleh pendidikan. Bahkan di beberapa seklolah tertentu, terdapat beberapa fasilitas yang memudahkan anak didik mendapatkan kemudahan dalam urusan pembiayaan dengan beasiswa, kerja paruh waktu, dll..

Hari ini, Di Fakultas Ekonomi UI yang notabene tergolong sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri, dengan naiknya biaya SP menjadi 200rb/SKS, diskriminasi pendidikan kontan terjadi. Mahasiswa yang memiliki banyak uang dapat lulus dengan lebih cepat ataupun tepat waktu – ketika mahasiswa tersebut mengalami kendala dalam urusan akademiknya. Sedangkan mahasiswa biasa yang pas-pasan, ketika mengalami kendala akademiknya, ia harus menanggung resiko untuk lulus lebih lama karena ketidakmampuannya dalam membayar biaya SP yang semakin melangit.

Tidak hanya itu, mungkin ingatan kita masih belum pudar ketika perberlakuan kebijakan baru jalur masuk mahasiswa UI. Di kampus yang menyandang nama bangsa ini, mahasiswa yang berkecukupan dapat masuk UI tanpa harus bertempur secara akademik dengan ber-puluh bahkan beratus ribu mahasiswa SMA biasa lewat jalur konvensional. Dengan jalur Non-reguler, kelas internasional, dan juga KSDI, mahasiswa berkecukupan mendapatkan privilege untuk masuk kampus dengan cara yang relatif mudah dibandingkan dengan mahasiswa kebanyakan.

Setelah pemberlakuan kebijakan jalur masuk UI dan kenaikan biaya SP, tentu kita semua tidak dapat mengetahui hal-hal diskriminatif lain yang akan dilakukan pihak kampus kepada mahasiswanya. Mungkin permasalahan naiknya biaya SP kali ini dapat dijadikan test case bagi lembaga kemahasiswaan yang ada untuk tetap menajamin hak-hak warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan.

Sebagai representasi mahasiswa, lembaga kemahasiswaan seharusnya dapat melakukan proses advokasi bahkan perlawanan – jika diperlukan – atas diskriminasi yang terjadi atas pelanggaran hak-hak kita sebagai rakyat dalam menempuh pendidikan yang berkeadilan. Tidak dengan sekedar memfasilitasi sosialisasi kenaikan biaya SP yang dilakukan oleh pihak birokrat kampus.

Mulai sekarang, kita harus berani mengungkapkan pendapat kita secara aktif sebagai insan akademis yang bergerak atas dasar kapasitas intelektual dan hati nurani. Karena kita adalah mahasiswa yang bergerak atas pikiran dan idelaismenya sendiri, bukan antek orang-orang yang punya kepentingan!!

Maaf atas segala khilaf



Referensi :

Hatta, Mohammad, Kumpulan Pidato (Jakarta, Yayasan Idayu, 1981)
Stiglitz, Joseph E., Public Sector (kota, penerbit, tahun).
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi (Jakarta, lembaga Penerbit FEUI, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar