Selasa, 29 September 2009

Pristiwa Bom Jakarta

BEYOND STUPIDITY

”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”
(QS Yusuf: 111)

Indonesia kembali berduka. Duka yang kembali terpaksa harus dirasakan oleh negara yang selama 6 tahun belakangan telah sekuat tenaga berusaha menjadi negara yang aman dan juga dicitrakan aman dari segala bentuk tindakan yang akrab disebut dengan terorisme. Kejadian pemboman yang dilaksanakan di dua hotel berbintang milik asing tersebut seakan kembali menguak luka lama akan kesan Indonesia sebagai sarang teroris internasional. Kesedihan dan keperihatinan yang mendalam pun kembali harus diperparah ketika bapak Presiden mengungkapkan data intelejen yang menyebutkan bahwa terdapat usaha yang sistematis dan terorganisir untuk membunuh dirinya.

Banyak pengamat politik yang menyesalkan statement yang dilontarkan oleh SBY tersebut. Banyak argumen yang mereka keluarkan, namun kesemuanya mengarah pada satu kesimpulan bahwa statement tersebut bukan hanya tidak solutif, tapi juga hanya akan memperkeruh suasana. Hal yang akhirnya kemudian harus dianalisa lebih dalam oleh kita semua adalah apakah seorang SBY yang memiliki jabatan sebagai kepala negara dan pemerintahan republik ini telah melakukan tindakan reaktif tanpa pertimbangan logika politik yang matang? Inilah yang harus kita cari tahu jawabannya.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita telaah sedikit tentang profil pendidikan presiden SBY yang tentunya sedikit banyak akan melandasi pola berpikirnya saat ini. Seperti kita ketahui bahwa SBY lulus dari Akademi Militer Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa (lulusan terbaik) dan Tri Sakti Wiratama (prestasi tertinggi dalam AKABRI yang meliputi pencapaian yang luar biasa atas gabungan tiga elemen yakni mental, fisik, dan intelektual). Beberapa tahun setelahnya ia pun melanjutkan studinya di Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning) Amerika Serikat. Selepas menuntaskan studinya tersebut, karir SBY pun semakin jelas dan cemerlang. Pada tahun 1982-1984, ia pun akhirnya kembali belajar di Infantry Officer Advanced Course (Fort Benning) Amerika Serikat. Tahun 1983, ia juga belajar pada On the job training in 82-nd Airbone Division (Fort Bragg) Amerika Serikat, Jungle Warfare School (Panama), Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984, dan juga kursus Komando Batalyon pada tahun 1985. Tidak cukup sampai disitu, pada periode 1988-1989, ia kembali belajar di Sekolah Komando Angkatan Darat dan melanjutkan ke US Command and General Staff College pada tahun 1991. SBY yang juga lulusan Command and General Staff College (Fort Leavenwort) Kansas Amerika Serikat dan Master of Art (MA) dari Management Webster University Missouri ini pun akhirnya mengakhiri karir akademisnya di Indonesia dengan gelar Doktor yang ia dapat dari negeri sendiri, Institut Pertanian Bogor.

Dampak Sosial Ekonomi Pasca Bom
Kembali pada permasalahan terorisme yang menghantui negara kita tercinta, seperti kita ketahui sebelumnya bahwa ”aktifitas pemboman yang mengatasnamakan pergerakan Islam” di Indonesia dimulai sejak peristiwa Bom Bali pada tahun 2002, Bom Marriot 2004, Bom Kedubes Australia 2004, dan Bom Bali jilid II yang terjadi pada tahun 2005. Sejak saat itulah maka Indonesia, yang kebetulan adalah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, dicap sebagai negara yang tidak aman dan rawan akan aksi-aksi pejuang Islam fundamentalis-ekstrimis. Konsekuensi logis yang kemudian tercipta dari serangkaian aksi terorisme tersebut adalah terciptanya efek negatif atas berbagai hal, beberapa diantaranya adalah memburuknya kondisi perekonomian juga stabilitas politik suatu negara yang ”dituduh” sebagai sarang terorisme.

Hal yang pertama akan kita bahas disini terkait dengan menurunnya kinerja perekonomian pasca kejadian yang berbau terorisme. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alberto Abadie dari Harvard University dan Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER), AS, serta Javier Gardeazabal dari University of the Basque Country, ditemukan sebuah kesimpulan empiris bahwa aktivitas terorisme yang ada pada suatu negara benar-benar akan memengaruhi keputusan investor internasional dan mengubah keseimbangan arus FDI di dunia yang kegiatan perekonomiannya sudah saling terkait. Sebagai catatan bahwa dalam riset yang berjudul ”Terrorism and the World Economy” ini juga memasukkan beberapa variabel lain seperti risiko politik, ekonomi, kepastian hukum, perpajakan, dan operasional perusahaan di lapangan, selain aktifitas terorisme tentunya. Dari berbagai risiko itu, potensi terorisme amat signifikan mengubah arus FDI ke sebuah negara. Setiap kenaikan satu standar deviasi dalam intensitas terorisme bisa menurunkan arus FDI 5 persen.

Impliksi riil pasca peledakan bom di Indonesia sejak tahun 2002 sampai 2004 tercatat bahwa setelah ledakan bom Bali pada Oktober 2002, PDB triwulan IV-2002 turun drastis menjadi 2,61%dan sektor pariwisata juga turun sebesar 0,9% dibanding triwulan sebelumnya. Setelah ledakan bom Marriot Agustus 2003 dan ledakan bom di kedutaan Australia September 2004, terjadi hal serupa, PDB turun pada triwulan III-2003 dan Triwulan III-2004 turun menjadi 3,97% dan 5,10%.

Masih seputar dampak terhadap kinerja perekonomian, meningkatnya intensitas terorisme di sebuah negara tidak serta-merta menghilangkan arus FDI. Hal yang sebenarnya terjadi adalah berpindahnya FDI ke negara lain. Hal inilah yang persisnya telah dialami RI belakangan ini dimana yang arus FDI negara ini kalah jauh dari China, Malaysia, Thailand, dan juga Vietnam. Risiko lain dari itu semua adalah memudarnya potensi sebuah bangsa untuk dijadikan sebagai basis investasi berjangka panjang karena potensi ancaman terorisme makin intensif. Hal inilah yang membuat warga Indonesia menjelma menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), yang mengadu nasib di Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Ini tak lain adalah karena perekonomian yang tidak berkembang secara signifikan, seiring dengan permintaan akan pekerjaan dari warganya. Meskipun secara riil perhitungan GDP dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat merepresentasikan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada suatu negara, akan tetapi setidaknya dengan berkurangnya tingkat pertumbuhan ekomomi dan kecilnya GDP suatu negara dapat diartikan bahwa negara tersebut telah mengalami permasalahan ekonomi yang akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat secara agregat. Mudahnya, dengan adanya aktifitas terorisme pada suatu negara akan mengakibatkan menurunnya GDP dan akan membuat masyarakat di negara tersebut akan relatif lebih miskin dan tidak sejahtera dibandingkan dengan periode ekonomi sebelumnya.

Selain efek negatif yang timbul pada sektor perekonomian, pelabelan aktivitas terorisme dan fundamentalisme yang dialamatkan kepada suatu negara tertentu juga akan memiliki dampak sosial politik yang tidak dapat dihindari. Tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat muslim sebagai ”golongan tertuduh” merupakan salah satu dampak logis yang akan muncul akibat pelabelan tersebut. Mungkin masih belum hilang dari ingatan bahwa : dua negara Islam, Afghanistan dan Iraq, hancur dengan tuduhan adanya gerakan terorisme internasional dan keberadaan senjata pemusnah massal; pertempuran bersenjata yang terjadi di Chechnya, India, Khasmir, Filipina selatan dan juga beberapa negara Islam di Afrika juga dikarenakan pelabelan ”masyarakat Islam fundamentalis”, dan tentunya dampak sosial politik dapat terjadi adalah diskriminasi yang kerap dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat dunia kepada komunitas muslim di Eropa dan Amerika belakangan ini. Jika bola liar ini terus membesar dan mengarah pada sebuah kesimpulan ”terorisme Islam”, maka bukan suatu hal yang mustahil, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia akan mengalami nasib yang sama seperti Iraq, Afghanistan, ataupun negara-negara Islam kebanyakan saat ini.

Penyikapan Presiden
Pertanyaan yang mungkin harus dikonstruksi ulang dalam pikiran kita semua, bahkan para pengamat sekalipun, adalah apakah sosok SBY sebagai seorang presiden-jendral-pemikir yang telah menempuh berbagai jenjang pendidikan sampai tingkatan tertinggi baik dalam ranah militer ataupun sipil dengan dapat mudah melontarkan ucapan reaktif yang akan menambah kepanikan dalam masyarakat? Pertanyaan selanjutnya yang dapat ditanyakan adalah apakah mungkin seorang SBY sebagai figur presiden incumbent dapat dengan mudah mengeluarkan statement tidak populis yang mungkin dapat berbahaya bagi citra dirinya kelak? Dan apakah mungkin figur SBY sebagai seorang muslim yang juga sedang berkoalisi dengan beberapa partai Islam besar akan membiarkan bola liar tersebut menggelinding dan mengarah pada suatu pelabelan tertentu, Indonesia sebagai sarang teroris?

Pertanyaan seperti inilah yang harus kita jawab dengan cermat, menyeluruh dan juga tidak terburu-buru, sehingga kita dapat terhindar dari analisa prematur yang subjektif. Analisa cost and benefit merupakan langkah logis yang mungkin akan diambil SBY dalam melakukan penyikapan terhadap pemboman yang baru saja terjadi. Hanya akan terdapat dua pilihan saat itu, membiarkan opini publik mengarah kepada isu terorisme internasional, ataukah membuat isu lain yang akhirnya dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari sebuah aksi teror yang dilakukan oleh sekeompok pejuang Islam fundamentalis.

Menurut saya, dengan pertimbangan strategis berbekal atas berbagai jenjang dan institusi pendidikan yang pernah telah ia tempuh sebelumnya, dan juga berdasarkan sikap dasar ”banyak pertimbangan” yang dimilikinya – sehingga sering disebut plin-plan oleh lawan politiknya –, maka SBY lebih memilih untuk mengarahkan kejadian ”Bom Jakarta” ini kepada isu lain yang diharapkan dapat meminimalisasi dampak buruk kembalinya citra bangsa Indonesia sebagai negara ”sarang teroris” dengan membeberkan (merekayasa) laporan intelijen akan percobaan pembunuhan akan dirinya. Meskipun menuai banyak kritikan, sikap SBY yang kontroversial saat itu saya pikir harus diberikan apresiasi yang mendalam, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang tidak ingin melihat negara ini hancur dan diintervensi oleh bangsa lain dengan dalih penegakan demokrasi dan penghancuran aktiivitas terorisme.

Dunia memang tidak akan pernah adil, definisi akan kebenaran dan kebatilan saat ini pun menjadi semakin bias. Suatu hal benar bisa jadi salah, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itulah maka hal yang perlu dilakukan oleh para pemimpin – dalam hal ini adalah pemimpin NKRI yang sedang berjuang dalam menciptakan Indonesia yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi negara yang makmur dan sejahtera – hanyalah dengan membuat ”cerita baru” agar dampak buruk terhadap kondisi perekonomian, citra Islam, dan kemanusiaan dapat diminimalisasi. Namun sayang, ”cerita baru” yang diharapkan dapat dijadikan pengalih perhatian masih kurang apik untuk didengar. Dan ”Islam” kembali menjadi tokoh utama dalam cerita konspirasi ini...

Maaf atas segala khilaf

Sumber bacaan :
Senyum Teroris, Derita Rakyat, kompas.com, Kamis, 23 Juli 2009
SBY, wikipedia
CEIC, LPI Bank Indonesia pada ekonomi Indonesia pasca terror bom, public dialog kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar