Kamis, 24 September 2009

plug and play

Plug and Play
Orientasi baru mahasiswa indonesia

Setiap manusia pasti butuh identitas. Tanpa identitas, manusia pasti akan kehilangan arah, tidak tahu dari mana ia berasal, tidak tahu apa yang harus ia perbuat, dan juga tidak tahu ia harus berakhir seperti apa. Ya, karena sebuah identitas adalah sebuah manifestasi atas sebuah terminologi yang kita kenal dengan sebutan peran.

Identitas biasanya selalu disandingkan dengan sebuah atribut atau simbol tertentu, ya, karena identitas yang sifatnya intangible harus sedikit di kongkretkan menjadi sesuatu yang tangible dalam bentuk fisik yang nyata. Jelas, agar setiap orang bisa mengetahui bahwa seseorang yang membawa sebuah identitas tertentu itu memiliki sebuah peran yang harus ia eksekusi. Seperti halnya simbol swastika terbalik dalam ideology NAZI. Dalam bukunya mein kampf, Hitler menjabarkan arti sebuah swastika terkatit dengan peran yang harus dilakukan dan dipercayai oleh seorang NAZI : "In red we see the social idea of the movement, in white the nationalistic idea, in the swastika the mission of the struggle for the victory of the Aryan man, and, by the same token, the victory of the idea of creative work, which as such always has been and always will be anti-Semitic." (pg. 496-497).

Dengan identitas, mereka tidak akan kehilangan arah..

Urgensi atas sebuah “peran yang ditujukan” dalam bentuk sebuah atribut, sebagai manefestasi atas sebuah identitas tertentu, pasti telah dimaknai dengan sangat baik oleh para mahasiswa UI, mulai dari angkatan ’66. Dengan menggunakan jaket almamater kampus, mahasiswa UI kerap menggunakan jaket almamaternya untuk melakukan berbagai macam aktifitas kampus, termasuk ketika sedang melakukan demonstrasi. Tentu saja, “jaket kuning” yang dikenakan oleh mahasiswa UI pada saat itu bukan hanya berfungsi sebagai media pengungkapan identitas atas kapasitas intelektual yang dimilikinya, namun juga sebagai upaya pencitraan kampus UI sebagai kampus perjuangan yang pro rakyat. Dengan adanya identitas tersebut, mahsiswa UI pada –saat itu— seakan ingin berkata kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa, “kami mahasiswa UI adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat Indonesia, mengerti keinginan rakyat, dan ingin memperjuangkannya”.

Dengan identitas, mereka tidak akan kehilangan arah..

Saat ini arti dari sebuah jaket almamater sepertinya sudah tidaklah berlaku lagi bagi mahasiswa Indonesia modern sebagaimana diangung-agungkan para pendahulunya beberapa puluh tahun silam. Seperti sebuah layaknya karya sastra dalam perkembangan penggunaan diksi, arah perjuangan mahasiswa indonesia kini telah mengalami sebuah generalisasi. Peluasan dari sebuah pakem pergerakan kemahasiswaan yang katanya dulu akan memperjuangkan kepentingan rakyat berdasarkan kapasitas moral dan intelektualitasnya menuju ke arah yang leibh liberal, kalaupun tidak ingin disebuat pragmatis. Kini atribut sakral kamahasiswaan dapat digunakan sebebas mungkin, dan untuk tujuan apapun sesuai dengan kepentingan mereka. Termasuk untuk menghadiri konser ataupun acara TV picisan yang sering ditayangkan di banyak stasiun TV belakangan ini. Seperti layaknya music yang tinggal ”plug and play”.

Humm,
Meski dengan identitas, mereka tetap kehilangan arah..

2 komentar:

  1. hari ini, 25 September 2009. dua mahasiswa UI dan UNPAD kembali mengecilkan arti sebuah jaket almamater dengan berpartisipasi hura-hura dalam acara missing lyrics di trans TV. pyuh..
    malu-maluin!

    BalasHapus
  2. this is what we call signaling kew..
    people put the atribute simply to be valued as high as the real intrinsic value of the atribute.
    untungnya we all know kalo atribute can not represent the whole identity, seperti halnya dengan jilbab yang merepresentasikan muslimah atau gelar S.E. yang merepresentasikan sarjana ekonomi yang baik :)

    BalasHapus