Selasa, 29 September 2009

SUBSIDI BBM

Antara Kebutuhan Jangka Pendek dan Kepentingan Jangka Panjang

“…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
(Pembukaan UUD 1945)

Terhitung semenjak harga minyak dunia meningkat menjadi $ 135/barel, maka dalam rangka untuk menuelamatkan APBN pemerintah Republik Indonesia melakukan menyesuaian harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Penyesuaian harga tersebuat dengan naiknya harga bensin premium dari Rp 4500/liter menjadi Rp 6000/liter, solar dari Rp 4300/liter menjadi Rp 5500/liter dan harga muinyak tanah premium dari Rp 2000/liter menjadi Rp 2500/liter. Kenaikan tersebut secara rata-rata meningkat 28.7% dari harga semula yang berlaku efektif sejak pulul 00.00 WIB hari sabtu, 24 Mei 2008. (KOMPAS, 24 Mei 2008)

Salah satu landasan mengapa pemerintah berani mengambil kebijakan yang tergolong tidak populer ini adalah karena menurut data yang ada disebutkan bahwa produksi minyak nasional terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi BBM relative semakin tinggi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksi minyak nasional mencapai 517,42 juta berel dan saat ini pada tahun 2008 jumlah produksi minyak nasional (masih dalam proses) hanya mencapai 84,82 juta berel. Bandiangkan dengan kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 392 juta barel. Keadaan ini diperparah dengan kilang minyak yang ada tidak mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM sesuai dengan standar kebutuhan dalam negeri. Dalam rangka mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri yang cenderung meningkat dan lifting (produksi) minyak yang terus menurun, akhirnya pemerintah melakukan kebijakan impor minyak mentah sebesar 116 juta barel dan mengimpor BBM secara langsung sebesar 150 juta berel. Tentunya kita ketahui bersema bahwa harga yang dipergunakan untuk mengimpor minyak tersebut adalah berdasarkan harga pasar Internasional. Dari 392 juta barel yang menjadi kebutuhan dalam negeri tersebut, 214 juta berel (54.5%) diperuntukan untuk transportasi, 62 juta barel (15.8 %) diperuntukan untuk kebutuhan rumah tangga, 50 juta barel (12.7 %) diperuntukan untuk kebutuhan Industri dan 68 juta barel (17.3 %) diperuntukan untuk kebutuhan pembangkit listrik(KOMPAS 30 Mei 2008).

Dari data diatas dapat diketahui bahwa hanya sebesar 15.8% yang dipergunakan langsung untuk kepentingan rakyat miskin untuk keperluan rumah tangga mereka. Maka tidak heran pemerintah mengutarakan bahwa konsumsi BBM yang dipergunakan oleh orang kaya sebesar 80% dari total konsumsi BBM. (KOMPAS 27 Mei). Atas dasar tersebutlah akhirnya pemerintah mengambil keputusan untuk menaikan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM yang sudah dipertahankan sejak tahun 2005 silam.
Kenyataan yang juga harus diketahui adalah bahwa meskipun sebagian besar konsumsi BBM dinikmati oleh orang kaya, secara umum BBM juga dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat menengah kebawah sebagai konsumsi untuk memenuhi kebuatuhan rumah tangga mereka. Dalam pemantauan langsung dilapangan, harga beras untuk semua jenis naik rata-rata Rp 100- Rp 200 per kg, HET minyak tanah naik 12.75%, dan berbagai kenaikan harga barang kebutuhan pokok lain yang tentunya bervariasi. Naiknya harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan rakyat menengah kebawah tentunya menjadikan semakin kecilnya daya beli yang mereka miliki. Lebih jauh lagi, para ekonom dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyatakan bahwa dengan naiknya harga BBM menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan yang ada di Indonesia menjadi 21.9 persen atau 41.7 juta jiwa.

Pemerintah Indonesia sebagai eksekutor atas amanah rakyat yang dituangkan dalam UUD 1945 tentunya sedang menghadapi dilemma yang sangat besar. Disatu sisi, pemerintah tentu saja ingin menjalankan amanah bangsa dengan tetap terus mensejahterakan rakyat. Dilain pihak, kenaikan harga minyak dunia yang semakin tinggi memaksa pemerintah juga harus melakukan penyesuaian harga BBM dalam negeri untuk menyelamatkan APBN. Tercatat bahwa sebelum pemerintah mencabut subsidi BBM, harga BBM di Indonesia merupakan harga minyak yang termurah di Asia. (KOMPAS, 27 mei 2008).

kebijakan pemerintah yang tidak populer ini tentu menuai kritik dari berbagai macam pihak. Tentunya Pemerintah, dalam hal ini departeman keuangan, telah mempersiapkan kebijakan pengamanan sementara dengan program BLT (Bantuan langsung Tunai) untuk mengkonversi kenaikan belanja rata-rata Rp 50.000 – Rp 70.000 per bulan kepada rakyat miskin yang sesuai dengan keriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan perhitungan ini pemerintah kemudian menetapkan jumlah uang yang dibagikan dalam Program BLT sebesar Rp 100.000 per bulan.

Pertanyaan yang seharusnya dilontarkan oleh seluruh insane akdemik adalah apakah dengan BLT (Bantuan langsung Tunai) sebesar Rp 100.000 per bulan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ditambah lagi akan beakhirnya kebijakan ini sampai dengan bulan Desember 2008. Apakah BLT menjadi solusi kongkrit dalam memecahkan permasalahan yang sangat meresahkan rakyat kecil sekarang ini.

Solusi untuk Rakyat

Seperti kita ketahui bersama bahwa kebijakan untuk menurunkan subsidi BBM terkait dengan kebijakan fiskal yang diatur oleh Departemen Keuangan dengan APBN sebagai instrumennya. Ketika BBM tetap di subsidi oleh pemerintah, dengan asumsi pendapatan pemerintah tetap, maka terdapat dua hal yang paling mungkin akan terjadi yakni yang pertama adalah meningkatnya jumlah pengeluaran pemerintah yang pada akhirnya akan menyebabkan financing atas APBM menjadi meningkat yang artinya hutang pemerintah akan bertambah dan yang kedua adalah meningkatnya proporsi pos pengeluaran pemerintah untuk subsidi dan berkurangnya pos-pos pengeluaran yang lain. Terlepas dari kedua kemungkinan yang mungkin akan terjadi, dengan tetap mensubsidi BBM maka pemerintah Indonesia sebagai pihak yang memiliki otoritas fiskal akan mengalami penurunan kredibilitas yang nantinya akan berdampak pada berbagai macam sektor seperti nenurunya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah atas Surat Utang Negara yang dijualnya dan berbagai dampak lain yang kita semua tidak kehendaki (bi..tolong cari lagi OK!).

Berdasarkan perhitungan jangka pendek, keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM dan mengkonversinya dengan BLT sudah cukup baik. Namun, berdasarkan analisa jangka panjang, keputusan pemerintah ini masih belum cukup untuk membawa rakyat Indosesia kearah kesejahteraan, apalagi menghancurkian disparitas ekonomi dan sosial yang ada saat ini. Perlu beberpa langkah lanjutan yang harus dilakukan pemerintah, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, Efisiensikan pengeluaran APBN terutama pada sektor belanja pegawai depertemen dan lembaga pemerintahan baik yang ada di pusat ataupun di daerah. Lebih lanjut menurut data yang ada, disebatkan bahwa kebocoran anggaran dalam pengadaan barang dan jasa disebutkan oleh KPK mencapai 30%. Dalam APBN dicantumkan bahwa anggaran untuk pengadaan barang dan jasa adalah sebesar 600 trilyun. Dapat disimpulkan jika efisiensi dan kebocoran dari sector ini saja dapat menghemat pengeluaran Negara sebesar 150 triliun. (kompas dan hukumonline.com 1 November 2007)

Kedua, Dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah harus melakukan ekspansi fiskal dengan membuat proyek-proyek pembangunan ataupun hal lain yang bersifat padat karya sehingga dapat menyerap tenaga kerja. Dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja, diharpkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat (terutama masyarakat menengah kebawah) yang selanjutnya seperti kita ketahui bersama dengan meningkatnya daya beli masyarakat, perekonomian negara ini akan kembali bekerja secara normal. Dengan pengaturan yang baik dari segi moneter dan fiscal oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan Depertemen Keuangan dengan otoritas fiskalnya, berjalannya perekonomian Indonesia secara normal akan menyebabkan meningkatnya GDP yang disusul dengan meningkatnya pendapatan per kapita yang tentusaja berberengan dengan meningkatnya pertumbuhan.
Ketiga, Berdayakan dan berikan perhatian serius kepada pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai sector usaha yang dapat menggerakan perekonomian masyarakat tingkat bawah secara riil. Perhatian dan pengembangan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dapat difokuskan dalam dua hal yakni pemberian informasi terkait usaha yang akan dijalani dan pemberian dana usaha bagi rakyat kecil. Ketika kedua hal ini dilakukan, kemandirian dalam tataran akan rumput (grass root) menjadi lebih dapat terealisasi.

Keempat, berlakukan pajak barang mewah, termasuk mobil mewah dan pajak bagi perusahaan minyak yang mendapat keuntungan atas naiknya harga BBM yang terjadi (Windfall tax). Dengan sistem pajak di Indonesia yang progresif maka diharapkan uang yang terkumpul nantinya dapat dimasukan sebagai pemasukan pemerintah yang nantinya akan dapat disalurkan kembali dalam program-program yang mensejahterakan rakyat.

Kelima, Langsungkan program subsidi selektif dimana diskriminasi subsidi BBM diterapkan. Jangan lakukan subsidi atas komodiatas, tetapi laksanakan subsidi sesuai dengan orang yang mengkonsumsi. Dengan memberlakukan smart card – subsidi penuh untuk minyak tanah atas kebutuhan rumah tangga dan transportasi umum serta motor, subsidi sebagian untuk mobil pribadi biasa dan hapus subsidi untuk kendaraan mewah, kebutuhan Industri dan untuk kebutuhan pembangkit listrik. Dengan mekanisme seperti ini keadilan akan dapat lebih diterapkan. Yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana pemerintah dapat membuat sistem distribusi BBM agar kebijakan smart card ini dapat terlasana dengan efektif.

Dan yang terakhir adalah, lakukan alih teknologi dan penelitian tentang sumber daya mineral nasional yang lebih efektif dan komprehensif. Seharusnya Indonesia sebagai Negara yang memiliki competitive advantage dalam bidang mineral dan sember daya alam memiliki potensi yang sangat besar dalam melakukan perdagangan internasional (fasal Basri dalam perkuliahan Perekonomian Indonesia). Lebih lanjut, ketika potensi tersebut dapat diberdayakan dan di-manage secara optimal Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi dan energi yang diakui dunia. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat melihat seluruh potensi tesebut sebagai kekuatan strategis yang harus dipertahankan dan dikembangkan oleh rakyat Indonesia sehingga seluruh keuntungan baik material ataupun non-naterial dapat digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Lebih jauh lagi, perputaran uang yang ada dari produksi tersebut akan terus “berada di dalam negeri” sehingga pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat dirasakan.



Muhammad Isa (060300166y)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar